"Sesal yang tak ku sesali"
Sesal yang tak akan pernah ku sesali.
Dari yang semula menjadi yang paling dekat, namun kini
rupamu hanya tinggal bayang pekat. Dari yang semula rela menahan
kantuk, sampai kini tak segan untuk saling mengutuk.
Di dalam kamarku sesal itu terus saja
bergentayangan, memaksaku membuka ingatan
bulan lalu saat semua masih baik baik saja. Saat itu dijam yang sama
seperti sekarang, kita masih saling bermesra walau hanya lewat perantara telfon udara.
Bahkan aku coba terus-terusan meneguk kafein agar
mataku tak terlelap tanpa izin.
Pada malam itu sebelum hujan
membubuarkan diri, hujan sempat merasa heran “kok ada manusia yang rela
menahan kantuk hanya untuk mendengar cerita, sudah tak terhitung beberapa kali telfon yang digengamnya
menghantam wajah sayunya. Rindu macam apa yang sedang
merasukinya? Manusia itu sudah gila!”
Dan hari ini aku duduk di pelataran sepi, menyaksikan mesranya malam yang sedang asik membelai rembulan. Aku melamun menatap jendela kenyataan, kemudian perlahan mulai
kerasukan penyesalan.
Memang benar yang dibicarakan orang-orang, november kali ini begitu
mengerikan. Tapi diluar itu semua sesal
ini tak akan pernah ku sesali, sebab hanya sekedar merasa
kehilangan tak akan bisa mengubah kenyataan.
Dengan hormat, malam ini atas
nama penderitaan serta keikhlasan kami mengucapkan “Selamat berbahagia untukmu
yang kini sudah menemukan semestamu yang baru.”
Banjarnegara
(2021) 23/11
0 Komentar