Payung di musim kemarau (bag 1)



Payung di musim kemarau " (bag 1)


Aku paham sangat perihal terkekang oleh satu nama,

menyembunyikannya hingga tak ada satupun orang yang menyangka.

Tiap malam di depan teras rumahku, tubuhku mematung

namun tidak dengan jari jemariku yang terus saja mengetik beberpa kalimat,

mengirimkan beberapa pesan kepada seorang nama yang selalu ku andai andaikan.

 

Tak jarang kamu bercerita tentang betapa lelahnya hari-harimu,

seandainya kamu tau betapa lelahnya aku menunggu sadarmu,

mungkin tak akan cukup semalaman untukku bercerita.

 

Terlampau sering aku menjadi telingamu,

sementara itu aku pun sadar, merawat lukamu adalah bencanaku,

sebab sembuhmu adalah hal yang paling tajam bagiku,

karena setelah sembuh, kamu akan pergi lagi,

dan kemudian kembali dengan luka yang sama, begitu siklusnya.

 

Hampir tiap minggu aku selalu mendengarkan cerita darimu orang tersayang,

menceritakan tentang pujaan hatimu yang kembali menyakitimu,

sebenarnya siapa yang bodoh diantara kita?

Kamu yang tak kunjung sadar, atau aku yang terlalu berharap?

dari sini yang menjadi subjek dalam predikat mencintaimu hanyalah aku.

Namun setelah ku pikir pikir tak ada yang aneh,

kamu hanya menemukan jalanmu, yang jelas tak ada aku di dalamnya.

Hujan tak akan pernah paham kan rasanya menjadi payung di musim kemarau.


30/07’21  // Biiwaa



(foto : adrian-susec-65FLzIqK1oY-unsplash)

Posting Komentar

4 Komentar

Unknown mengatakan…
Mantul!!
Biwara Nala Seta mengatakan…
mantap betul, kek lagi akrab akrabnya saling bercerita, eh ternyata cuma jadi telinga
Unknown mengatakan…
Ya ampun relate😂
Biwara Nala Seta mengatakan…
ber patah hatilah sebab patah hati adalah sebuah kemewahan