Hal penting yang harus dipersiapkan untuk mendaki kawah Ijen adalah sejumput keikhlasan.
Berbaur bersama
warga lokal di lereng Gunung Ijen mengingatkanku tentang bagaimana hidup
berjalan seharusnya. Bergaul, saling menyapa, dan saling bertukar cerita. Hal
yang sederhana namun di kota-kota besar mulai tergerus oleh hiruk-pikuknya.
Mereka benar-benar membagikan keramah-tamahannya secara cuma-cuma.
Salut.
Padahal aku yakin, nasib mereka sebagai petani,
pedagang dan penyedia jasa peralatan untuk naik gunung tak selamanya berjalan
baik-baik saja.
Jauhnya akses ke kota, harga bahan pokok dan BBM
yang terus-terusan melonjak, cuaca semakin tidak bisa diprediksi, hingga
intensitas wisatawan yang tak selalu sesuai harapan.
Namun bukannya mencela atas takdir yang menimpa,
mereka justru lebih rajin melemparkan tawa pada orang yang ditemuinya. Sebab
mereka selalu percaya selama pemerintah tidak menaikkan harga cukai tembakau
dan petani masih mau mengolah kopi, seberat apapun masalahnya pasti akan ada
jalan keluarnya.
Mereka benar-benar ikhlas dan legowo atas apa
yang menimpanya.
Sementara aku, bahkan sampai sekarang belum bisa
sepenuhnya ikhlas dan legowo atas kabar undangan dari perempuan yang kudamba.
Padahal waktu dan tanggal perayaannya mungkin sudah dia rencanakan. Mungkin itu juga
yang menjadi alasan terbesarku kenapa kini aku lebih suka mengeksplor alam yang
belum pernah aku jelajahi. Mendaki gunung contohnya.
Sebagai lelaki yang tidak terbiasa menampilkan
kesedihan, menjelajahi tempat baru memang menjadi salah satu pilihan untuk
menepi. Bagaimana tidak, kita akan benar-benar berinteraksi langsung dengan
alam. Kepala yang semula bising seketika lenyap setelah semesta memelukku lewat
keindahannya.
Lewat jam dua malam, dengan semangat pendakian
memburu blue fire kawah ijen yang konon katanya nyala apinya sama
indahnya dengan nyala binar matanya. Lebih dari dua jam melakukan pendakian,
aku tidak mendapakan blue fire yang kudambakan.
Ya! lagi-lagi semesta selalu paham yang terbaik
untukku. Bagaimana bisa aku menamakan perjalanan melupakan tapi kalau ujungnya
masih membandingkan keindahan alam semesta dengan keindahan parasnya.
Namun semesta terlalu baik padaku, ia masih
bersedia menampilkan keindahan yang siap mengikatku pada puncak kekaguman.
Kawah biru yang begitu cantik berpadu dengan fajar yang semakin berpijar.
Semesta bertingkah memamerkan keindahanya.
Hangat mentari mulai membelai kulitku
pelan-pelan, menyingkirkan sesak jerebu di dada, dan hanya menyisakan
ketenangan. Mata kupejamkan, nafas kutarik dalam-dalam, aku terbitkan senyumku
pelan-pelan, dan mempersilahkan lamunan merasukiku.
Lega.
Namanya melintas di tengah kekhusukan lamunan
berserta keikhlasan di sebelahnya.
Semesta berbisik memberiku pemahaman bahwan terkadang
Tuhan menciptakan keindahannya bukan untuk bisa dimiliki, namun keindahan itu
diciptakan untuk sekedar dikagumi.
Sibuk berdialog dengan semesta, seorang teman
tiba-tiba mengajakku turun dan pulang.
Ya, waktuku berpeluk mesra dengan semesta telah
selesai. Aku ambil sedikit foto sebagai tanda bahwa semesta lewat perjalanan
Kawah Ijen berhasil memberiku pemahaman bahwa hidup tak selalu berjalan sesuai
keinginan semetara keikhlasan juga harus selalu dilibatkan.
~Kau bersiap pergi ke pelaminan, aku pulang
memeluk keikhlasan.
Kawah Ijen, Banyuwangi 19 Februari 2024
0 Komentar